Klikminang.com-Dari berita Tambo Pagaruyung dapat diketahui bagaiman keadaan  Pagaruyung sesudah Adiyawarman demikian pula wawancara dengan S.M. Taufik Thaib  SH. Dikatakan mengenai silisilah raja-raja Pagaruyung adalah sebagai  berikut:
    * Adityawarman (1339-1376)
    * Ananggawarman (1376)
    * Yang Dipertuan Sultan Bakilap Alam
    * Yang Dipertuan Sultan Pasambahan
    * Yang Dipertuan Sultan Alif gelar Khalifafullah
    * Yang Dipertuan Sultan Barandangan
    * Yang Dipertuan Sultan Patah (Sultan Muning II)
    * Yang Dipertuan Sultan Muning III
    * Yang Dipertuan Sultan Sembahwang
    * Yang Dipertuan Sultan Bagagar Syah
    * Yang Dipertuan Gadih Reni Sumpur 1912
    * Yang Dipertuan Gadih Mudo (1912-1915)
    * Sultan Ibrahim 1915-1943 gelar Tuanku Ketek
    * Drs. Sultan Usman 1943 (Kepala Kaum Keluarga Raja  Pagaruyung)
Dari data ini dapat ditarik kesimpulan bahwa sesudah Adityawarman  raja-raja di Pagaruyung sudah menganut agama Islam sesuai dengan sebutan Sultan  (pengaruh Islam).
Bila Sultan Bakilap Alam memerintah tidak disebutkan oleh tambo  tersebut, tetapi dapat diperkirakan sesudah tahun 1409, karena sampai 1409  pemerintahan Pagaruyung masih bersifat sentralisasi seperti sewaktu pemerintahan  Adityawarman. Sesudah tahun tersebut pemerintahan Pagaruyung sudah  desentralisasi dengan pengertian bahwa nagari-nagari sudah mempunyai otonom  penuh dan pemerintahan di Pagaruyung sudah mulai melemah.
Selanjutnya dikatakan bahwa di atas pemerintahan nagari-nagari  terlihat adanya dua tingkat pemerintahan yaitu Rajo Tigo Selo dan Basa Ampek  Balai. Rajo Tigo Selo dimaksudkan adalah tiga orang raja yang sekaligus berkuasa  di bidang masing-masing. Raja Alam berkedudukan di Pagaruyung sebagai pucuk  pimpinan, Raja Adat berkedudukan di Buo yang melaksanakan tugas-tugas kerajaan  dibidang adat. Raja Ibadat berkedudukan di Sumpur Kudus dan melaksanakan urusan  keagamaan kerajaan. Gambaran ini adalah lembaga pemerintahan di tingkat  raja.
Sedangkan ditingkat Menteri dan Dewan Menteri yang dimaksud  dengan Basa Ampek Balai terdiri dari:
1. Bandaro (Titah) di Sungai Tarab sebagai Perdana Menteri
2. Tuan Kadi di Padang Ganting yang mengurus masalah Agama
3. Indomo di Saruaso mengurus masalah keuangan
4. Makhudum di Sumanik yang mengurus masalah pertahanan dan  rantau
Masyarakat nagari dalam mengusut persoalannya berjenjang naik  sampai ketingkat kerajaan. Dibidang adat dari nagari terus ke Bandaro dan kalau  tidak putus juga diteruskan lagi kepada Raja Buo dan kalau tidak putus juga  masalahnya diteruskan lagi kepada Raja Alam di Pagaruyung yang akan memberikan  kata putus. Begitu juga dalam bidang agama. Dari nagari naik kepada tuan Kadi di  Padang Ganting, terus kepada raja Ibadat di Sumpur Kudus, dan bula tidak selesai  juga akhirnya sampai kepada raja Alam yang akan memberikan kata putusnya.
Selanjutnya dikatakan bahwa Lembaga Rajo Tigo Selo dibentuk  bersama dengan pembentukan Lembaga Basa Ampek Balai. Penobatan dan pelatikan  Rajo Tigo Selo dan Basa Ampek Balai bersamaan pula dengan pengangkatan dan  pengiriman “Sultan Nan Salapan” ke daerah rantau Minangkabau yaitu  daerah-daerah: Aceh, Palembang, Tambusai, Rao, Sungai Pagu, Bandar Sepuluh, Siak  Indra Pura, Rembau Sri Menanti dan lain-lain. Pengangkatan dan pelantikan itu  dilakukan oleh Sultan Bakilap Alam.
Dalam hal ini Bahar Dt Nagari Basa, mengatakan bahwa Basa Ampek  Balai pada mulanya terdiri dari Bandaro di Sungai Tarap, yang menjadi Payung  Panji Koto Piliang; Datuk Makhudum di Sumanik yang menjadi Pasak Kungkung Koto  Piliang; Indomo di Saruaso yang menjadi Amban Puruak (bendahara) Koto Piliang;  Tuan Gadang di Batipuah yang menjadi Harimau Campo Koto Piliang, yaitu Menteri  Pertahanan Koto Piliang. Kemudian setelah Islam masuk ke Minangkabau dimasukkan  Tuan Kadhi sebagai anggota Basa Ampek Balai dan “Tuan Gadang” di Batipuh ke luar  dari keanggotaan itu dengan berdiri sendiri sebagai orang yang bertanggung jawab  dalam masalah pertahanan Koto Piliang. Semuanya itu terdapat di Tanah Datar yang  merupakan pucuk pimpinan di Minangkabau. Selanjutnya dikatakan yang menjadi  kebesaran Luhak Agam adalah Parik Paga dan Kebesaran Lima Puluh Kota adalah  Penghulu.
Dari keterangan itu yang dapat diambil kesimpulan bahwa Lembaga  Basa Ampek Balai sudah ada sebelum Islam masuk ke Minangkabau dengan bukti  seperti yang dikatakan oleh Datuk Nagari Basa dengan susunan yang sedikit  berbeda dari apa yang kita kenal kemudian. Baru sesudah Islam masuk ke  Minangkabau kedudukan Tuan Kadhi diserahkan untuk mengurus masalah agama Islam.  Selanjutnya susunan Basa Ampek Balai dengan Tuan Gadang sudah seperti yang kita  kenal sekarang ini.
Mengenai susunan pemerintahan Pagaruyung sesudah Adityawarman ini  diuraikan dengan lengkap dalam cerita Cindua Mato. Cindua Mato (Candra Mata)  adalah sebuah cerita rakyat Minangkabau yang menggambarkan tentang keadaan  pemerintahan Minangkabau Pagaruyung di zaman kebesarannya. Walaupun dalam cerita  ini mengenai raja-raja yang diceritakan sudah ada unsur legendanya, tetapi yang  mengenai masalah lainnya sama dengan apa yang dikatakan Tambo.
Menurut Tambo, Basa Ampek Balai pernah memegang kedudukan Raja  Alam yaitu sesudah Sultan Alif meninggal, karena orang yang akan menggantikan  Sultan Alih masih belum dewasa. Buat sementara dipegang oleh Basa Ampek  Balai.
0 komentar:
Posting Komentar