Klikminang.com-Dalam hal ini timbul suatu kontradiksi keterangan-keterangan,  yaitu nama Maharajo Dirajo sudah disebutkan sebelumnya sebagai salah seorang  panglima Iskandar Zulkarnain yang tugaskan menguasai Pulau Emas. Kalau memang  demikian keadaannya, lalu bagaimana dengan Maharajo Dirajo yang sedang kita  bicarakan ini yang waktunya sudah sangat jauh berbeda. Dalam hal ini kita tidak  dapat memberikan jawaban yang pasti. Maharajo Dirajo yang sudah kita bicarakan  hanya merupakan perkiraan saja dan belum tentu benar. Tetapi berdasarkan logika  berfikir kira-kira diwaktu itulah hidupnya Maharajo Dirajo jika dihubungkan  dengan nama Iskandar Zulkarnain. Sedangkan Maharajo Dirajo yang sedang  dibicarakan sekarang ini adalah seperti yang dikatakan Tambo Alam Minangkabau  yang mana yang benar perlu penelitian lebih lanjut. Dalam kesempatan ini kita  hanya ingin memperlihatkan betapa rawannya penafsiran dari data yang diberikan  Tambo Alam Minangkabau.
Maharajo Dirajo yang sekarang dibicarakan adalah Maharajo Dirajo  seperti yang dikatakan Tambo. Dalam hal ini kita ingin mengangkat data dari  Tambo menjadi Fakta sejarah Minangkabau.
Dalam Tambo disebutkan bahwa Iskandar Zulkarnain mempunyai tiga  anak, yaitu Maharajo Alif, Maharajo Dipang, dan Maharajo Dirajo. Maharajo Alif  menjadi raja di Benua Ruhun (Romawi), tetapi Josselin de Jong mengatakan,  menjadi raja di Turki. Maharajo Dipang menjadi raja di negeri Cina, sedangkan  Maharajo Dirajo menjadi raja di Pulau Emas (Sumatera).
Kalau kita melihat kalimat-kalimat Tambo sendiri, maka dikatakan  sebagai berikut: “...Tatkala maso dahulu, batigo rajo naiek nobat, nan sorang  Maharajo Alif, nan pai ka banua Ruhun, nan sorang Maharajo Dipang nan pai ka  Nagari Cino, nan sorang Maharajo Dirajo manapek ka pulau ameh nan ko...” (pada  masa dahulu kala, ada tiga orang yang naik tahta kerajaan, seorang bernama  Maharaja Alif yang pergi ke negeri Ruhun, yang seorang Maharajo Dipang yang  pergi ke negeri Cina, dan seorang lagi bernama Maharajo Dirajo yang menepat ke  pulau Sumatera).
Dari keterangan Tambo itu tidak ada dikatakan angka tahunnya  hanya dengan istilah “Masa dahulu kala” itulah yang memberikan petunjuk kepada  kita bahwa kejadian itu sudah berlangsung sangat lama sekali, sedangkan waktu  yang mencakup zaman dahulu kala itu sangat banyak sekali dan tidak ada  kepastiannya. Kita hanya akan bertanya-tanya atau menduga-duga dengan tidak akan  mendapat jawaban yang pasti. Di kerajaan Romawi atau Cina memang ada sejarah  raja-raja yang besar, tetapi raja mana yang dimaksudkan oleh Tambo tidak kita  ketahui. Dalam hal ini rupanya Tambo Alam Minangkabau tidak mementingkan angka  tahun selain dari mementingkan kebesaran kemasyuran nama-nama rajanya.
Percantuman raja Romawi dalam Tambo menurut hemat kita hanya  usaha dari pembuat Tambo untuk menyetarakan kemasyhuran raja Minangkabau dengan  nama raja di luar negeri yang memang sudah sangat terkenal di seantero penjuru  dunia.
Dengan mensejajarkan kedudukan raja-raja Minangkabau dengan raja  yang sangat terkenal itu maka pandangan rakyat Minangkabau terhadap rajanya  sendiri akan semakin tinggi pula. Disini kita bertemu dengan satu kebiasaan  dunia Timur untuk mendongengkan tuah kebesaran rajanya kepada anak cucunya.
Gelar Maharajo Dirajo sendiri terlepas ada tidaknya raja  tersebut, menunjukan kebesaran kekuasaan rajanya, karena istilah itu berarti  penguasa sekalian raja-raja yang tunduk di bawah kekuasaannya. Josselin de Jong  mengatakan Lord of the Word atau Raja Dunia.
Dalam sejarah Indonesia gelar Maharaja Diraja tidak hanya menjadi  milik orang Minangkabau saja, melainkan juga ada raja lain yang bergelar  demikian seperti Karta Negara dari Singasari dengan gelar Maharaja Diraja  seperti yang tertulis pada arca Amogapasa tahun 1286 sebagai atasan dari  Darmasraya yang bernama raja Tribuana.
Tambo mengatakan bahwa Maharajo Dirajo adalah raja Minangkabau  pertama. Tetapi ada pendapat lain yang mengatakan bahwa Srimaharaja Diraja yang  disebut dalam tambo sebagai raja Minangkabau yang pertama itu tidak lain dari  Adityawarman sendiri yang menyebut dirinya dengan Maraja Diraja. Tentang  Adityawarman mempergunakan gelar Maharaja Diraja memang semua ahli sudah  sependapat, karena Adityawarman sendiri telah menulis demikian dalam prasasti  Pagaruyung.
Dari gelar Maharaja Diraja yang dipakai Adityawarman menunjukan  kepada kita bahwa sewaktu Adityawarman berkuasa di Minangkabau tidak ada lagi  kekuasaan lain yang ada di atasnya, atau dengan perkataan lain dapat dikatakan  pada waktu itu Minangkabau sudah berdiri sendiri, tidak berada di bawah  kekuasaan Majapahit atau sudah melepaskan diri dari Majapahit. Kerajaan  Majapahit adalah ahli waris dari Singasari. Sedangkan Singasari pernah  menundukkan melayu Darmasraya, tentu berada di bawah kekuasaan Singasari –  Majapahit itu, maka untuk melepaskan diri dari Singasari – Majapahit itu  Adiyawarman memindahkan pusat kekuasaannya kepedalaman Minangkabau dan  menyatakan tidak ada lagi yang berkuasa di atasnya dengan memakai gelar Maharaja  Diraja.
Ada sesuatu pertanyaan kecil yang perlu dijawab, yaitu apakah  tidak ada lagi kemungkinan bahwa gelar Maharajo Dirajo itu merupakan gelar  keturunan bagi raja-raja Minangkabau, sehingga diwaktu Adityawarman menjadi raja  di Minangkabau dia merasa perlu mempergunakan gelar tersebut agar dihormati oleh  rakyat Minangkabau. Kalau memang demikian, maka kita akan dapat menghubungkannya  dengan Maharajo Dirajo yang kita bicarakan kehidupannya sebelum abad Masehi.  Tetapi hal ini kembali hanya berupa dugaan saja yang masih memerlukan pembuktian  lebih lanjut.
Kalau kita mengikuti pendapat yang mengatakan bahwa Maharaja  Diraja itu sama dengan Adityawarman, maka satu kepastian dapat dikatakan bahwa  kerajaan Minangkabau baru bermula pad tahun 1347, yaitu pada waktu Adityawarman  menjadi raja di Minangkabau yang berpusat di Pagaruyuang. Logikanya tentu  sebelum Adityawarman, belum ada raja di Minangkabau, kalau ada baru merupakan  daerah-daerahyang dikuasai oleh seorang kepala suku saja. Kalau pendapat itu  tidak dapat diterima kebenarannya, maka tokoh Maharajo Dirajo yang disebut di  dalam Tambo itu masih tetap merupakan seorang tokoh legendaris dalam sejarah  Minangkabau dan hal ini akan tetap mengundang bermacam-macam pertanyaan yang pro  dan kontra.
Kemungkinan gelar Maharajo sudah dipergunakan sebelum kedatangan  Adityawarman memang ada. Tetapi apakah gelar itu merupakan gelar keturunan dari  raja-raja Minangkabau masih belum lagi dapat diketahui dengan pasti. Yang jelas  pada waktu sekarang ini, banyak gelar para penghulu di Sumatera Barat yang  memakai gelar Maharajo sebagai gelar kepenghulunya disamping nama lainnya,  seperti Dt. Maharajo, Dt. Marajo, Dt. Maharajo Basa, Dt. Maharajo Dirajo.
Kelihatan gelar tersebut dipergunakan oleh masyarakat Minangkabau  sebagai gelar pusaka yang turun-menurun. Sebaliknya raja-raja Pagaruyung sendiri  tidak mempergunakan gelar tersebut sebagai pusaka kerajaannya. Jadi, dapat  disimpulkan bahwa gelar Maharajo Dirajo tersebut merupakan gelar pusaka  Minangkabau dan sudah ada sebelum Adityawarman menjadi raja di Pagaruyung.  Barangkali memang gelar itu diturunkan dari Maharajo dirajo seperti disebutkan  dalam Tambo itu.

0 komentar:
Posting Komentar